Makam Syekh ini terdapat di Desa Manyabar
sekitar tiga kilometer dari Kota Panyabungan arah barat dan dapat ditempuh
sekitar seperempat jam. Hidup sekitar tahun (1874-1937). Nama lengkapnya adalah
Abdul Mutholib bin Japidodang lahir di desa ini, sejak kecil telah jadi piatu
dan berbagai macam duka pun telah merundung beliau. Pada umur sepuluh tahun,
beliau telah bekerja mencari nafkah sendiri dan bekerja sebagai seorang
penggembala kerbau milik seorang kaya di daerah Mompang.
Ditempatnya bekerja ini, beliau bekerja tidak
sendrian. Disini juga terdapat seorang anak sebayanya dan yang menjadi
sahabatnya kelak, mungkin karena memiliki kisah hidup yang sama. Namanya
Jamaniangi yang berasal dari desa Siladang.
Ketika beranjak umur dua belas tahun, beliau
dibawa oleh abangnya yang bernama Abdul Latif ke tanah Deli. Ditempat ini juga
ia bekerja seperti pekerjaannya semula, yakni memberi makan kuda majikannya.
Ketika ekonomi abangnya membaik, merekapun berdagang kain ke kebun-kebun di
tanah Deli.
Dari hasil berdagang kain ini, mereka mendapat
untung yang banyak dan pada umur tujuh belas tahun keduanya memutuskan untuk
berangkat menunaikan Ibadah Haji ketanah suci Mekkah.
Pada saat rombongan Haji pada tahun itu pulang
ketanah air, beliau tidak turut abangnya dan memilih tinggal serta menuntut
Ilmu Agama, setelah lama menetap di Mekkah dan kawin serta dikaruniai anak di
Kota Mekkah.Pada tahun 1923, beliau sekeluarga pulang ketanah air dan menetap
dikampung Manyabar Dikampung halamannya ini, mulailah ia diminta masyarakat
sekitar untuk mengajar.
Teringat dengan sahabatnya ketika bekerja
sebagai penggembala kerbau, beliaupun pergi menjumpai sahabatnya tersebut.
Sesampai dikampung tersebut, betapa prihatin dan tergugahnya beliau melihat
kondisi sosial dan pelaksanaan Syariah Agama di Desa tersebut.
Desa Siladang yang terletak diatas bantaran
sungai Batanggadis, bantaran ini cukup curam sehingga menyulitkan masyarakat
untuk sampai kesumber air tersebut. Jangankan untuk melaksanakan Syariah Ibadah
untuk mendapatkan air untuk mandipun mereka kesusahan.
Dengan memanjatkan do’a serta seizin Allah SWT,
menggunakan tongkat yang dipakai beliau dipukulkan ketanah dan dari tanah
tersebut keluarlah mata air seperti keluarnya keringat dari tubuh manusia dan kemudian
menjelma menjadi sebuah kolam yang luasnya sekitar dua meter persegi. Oleh
masyarakat setempat sumber air ini disebut dengan aek banir (Air yang keluar
seperti keringat) dikemudian hari nama kampung inipun terkenal dengan nama Aek
banir.
Sampai sekarang sumber mata air yang terdapat
di bantaran sungai Batanggadis ini masih ada dan dipergunakan masyarakat
sebagai sumber mata air dalam kehidupan seharai-hari. Sebagai suatu sumber mata
air, mata air ini juga terpengaruh dengan keadaan ini. Sehingga pada saat musim
panas atau kemarau, jumlah air yang terdapat dikolam ini akan turun drastis,
tetapi tidak sampai mengalami kekeringan.
Sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas
karunianya yang sangat besar ini, persis disebelah sumber mata air ini dibangunlah
sebuah Mesjid yang sederhana sebagai tempat beribadah dan kegiatan keagamaan
lainnya. Sekarang, Mesjid ini telah dibongkar dan dibangun dengan bangunan yang
lebih permanent walaupun masih dalam tahap penyelesaian tetapi tidak mengurangi
keindahan bentuknya dan menjadi Mesjid kebanggaan bagi masyarakat di desa ini.
Suatu ketika pemerintah Propinsi Sumatera Utara
membuat suatu proyek pengadaan air bersih bagi daerah terpencil seperti
Siladang ini, alat-alat beratpun mulai dimasukkan kedaerah ini. Mulai dari mata
bor, pipa-pipa berbagai inci. Pada suatu titik tertentu dilakukakanlah kegiatan
pemboran pencarian sumber mata air bersih bagi penduduk setempat, sejak hari
pertama dan hingga berbulan lamanya pengeboran dan pencarian sumber air yang
dimaksud belum juga berhasil walaupun telah beberapa meter dalamnya dan
akhirnya para pekerja meninggalkan lokasi tersebut begitu saja.
Berdasarkan ilmu Geologi, Formasi batuan daerah
Siladang ini terdiri dari batuan gamping. Batu gamping adalah sebagai suatu
batuan yang mempunyai porositas tinggi, yang berarti batuan yang tidak mungkin
menyimpan air tanah. Pada saat hujan turun, air masuk kedalam tanah dan
selanjutnya mengalir terus ke sungai Batanggadis melalui pori-pori batuan
gamping tersebut. Jadi secara geologis, keberadaan mata air ini tidak akan
bertahan lama dan terus mengalir ke sungai Batanggadis.
Begitu juga suatu ketika, beliau berpapasan
dengan seorang Kuria (Raja) yang baru pulang dari Desa Siladang (Aek Banir)
setelah selesai memungut pajak. Sebagai sesama manusia yang kebetulan
berpapasan di tengah jalan, beliaupun menyapa Raja ini, dasar seorang Raja
merasa orang hebat hanya menjawabnya dengan jawaban yang sangat sinis.
Setelah Raja sampai dan akan menyetorkan hasil
pajak tersebut pada Kolonial Belanda ternyata seluruh isinya telah kosong.
Teringat dengan kejadian yang barusan dilaluinya dengan jawaban yang kurang
sopan pada seseorang yang alim, Rajapun meminta ma’af kepada beliau.