Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui
ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau dari sudut akal,
dannadari dari sudut hiss pancaindera.
Ilmu adakala dituntut melalui akal,
dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma'qulat), adakala dituntut
dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan.
Seseorang manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah
suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan istidlal):
karena hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan masalah dengan pertolongan
akal. Dia dapat pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri;
karena akal yang sejahtera menggerakkan manusia kepada mengakui ada-Nya Allah
dan menyalahkan akal mengingkari-Nya.
Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang
empat belas, menulis: "Anda dapat memperhatikan alam makhluk, kalau anda
lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad(alam
yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak
ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang
ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti
anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda
turun".