Ketika Nabi Muhammad
memasuki usia 40 tahun; 15 tahun dari perkawinannya dengan Khadijah; beliau
sering menyendiri/’uzlah dari khalayak ramai, dengan tujuan untuk menenangkan
pikiran, membersihkan hati dan jiwa, dan diharapkan dengan pengasingannya itu
beliau mendapatkan kebenaran yang hakiki.
Tempat yang dijadikan khalwat (pengasingan dan menyendiri) oleh Nabi
Muhammad ialah gua Hira’. Gua Hira’ ini terletak kira-kira 6 Km sebelah
utara kota Mekkah; tingginya kira-kira 200 meter.
Dalam khalwatnya itu Nabi Muhammad meninggalkan istri tercintanya
Khadijah, kadang-kadang 10 sampai 20 hari, dengan dibekali oleh isteri
tercintanya yang cukup. Ketika persediaan makanan sudah habis barulah beliau
pulang ke kota Mekkah untuk bertemu dengan keluarga dan kaumnya.
Khalwat dan penyendirian Nabi Muhammad ke gua Hira’ ini untuk mencari kebenaran yang hakiki,
untuk memantapkan hati; dan tentunya khalwatnya Rasulullah ke gua Hira’ ini dituntun oleh Alloh SWT, dalam
rangka untuk menerima wahyu/risalah kerasulan dan kenabiannya.
Selang beberapa bulan dalam khalwatnya/’uzlahnya Nabi Muhammad ke gua Hita’, yang tepatnya dalam usia 40 tahun, 7 bulan
dan 8 hari menurut perhitungan tahun Qomariyah, Nabi Muhammad telah diutus oleh
Alloh SWT swt. menjadi Rasulullah (utusan Alloh SWT), dengan menenima wahyu
pertama melalui perantaraan Malaikat Jibril di gua Hira’.
Peristiwa penerimaan wahyu sekaligus pengangkatannya sebagai nabi
terjadi pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari hari kelahiran Nabi Muhammad,
atau bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 Miladiyah.
Pada malam tanggal peristiwa itu, Nabi Muhammad sedang khusyuk
melakukan ibadah di gua Hira’, tiba-tiba
Malaikat Jibril menghampiri Muhammad (yang selama ini Muhammad belum mengenal
Malaikat Jibril) seraya berkata:
“Bergembiralah, wahai Muhammad! Saya ini adalah Jibril, dan engkau
adalah utusan Alloh SWT kepada umat ini, engkau adalah penyapai kabar gembira,
penyampai ancaman, pengajak kepada kebenaran dengan perintah Alloh SWT dan
sebagai lampu yang menerangi.”
Sebelum diturunkannya wahyu yang pertama itu, Nabi Muhammad didahului
dengan impian yang benar. Jadi sebelum wahyu pertama itu turun, Nabi Muhammad
sering bermimpi maksudnya mimpi yang berkenaan dengan pengangkatan dirinya
sebagai Nabi/Rasul Alloh SWT.
Selanjutnya malaikat Jibril membentangkan di hadapan Nabi Muhammad
selembar kain sutra, dan disuruhnya untuk membaca tulisan yang ada dalam kain
sutra itu. Tapi Nabi Muhammad menjawab: Aku tidak bisa baca dan menulis.
Perintah malaikat Jibril menyuruh Nabi Muhammad untuk membaca tulisan tersebut
sampai tiga kali, dan jawaban yang dilontarkan oleh Nabi Muhammad adalah: Saya
tidak bisa membaca!
Akhirnya Malaikat Jibril merangkul/memeluk tubuh Nabi Muhammad
dengan sekerasnya, sehingga nafasnya tersendat-sendat, dan diajarkannya membaca
tulisan tensebut. Maka akhirnya Nabi Muhammad bisa membaca tulisan yang ada
dalam kain sutra tersebut.
Tulisan yang ada dalam kain sutra tadi adalah firman Alloh SWT
dalam surat Al-’Alaq ayat-5.
“Bacalah (hai Muhammad) dengan nama Tuhanmu. Yang menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu itu Maha Pemurah. Yang
rnengajarkan dengan pena (tulis menulis). Mengajarkan kepada manusia apa yang
belum diketahuinya.”
Jadi ayat 1-5 dan surat Al-’Alaq itulah
wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Alloh SWT
kepada umatnya. Dan dengan demikianlah resmilah Muhammad bin Abdullah diangkat
menjadi seorang nabi dan utusan Alloh SWT dengan membawa missi Islam untuk
disebarkan kepada kaumnya dan seluruh umat manusia.
Sesudah malaikat Jibril mengajarkan untuk membaca tulisan itu, dan
Nabi Muhammad menirukannya dengan lancar, maka malaikat Jibril menghilang dari
hadapan Nabi Muhammad.
Dengan hati yang berdebar- debar, diliputi oleh perasaan takut dan
cemas, maka pulanglah Nabi Muhammad meninggalkan gua Hira’ menuju kota Mekkah. Sesampainya di rumah
istrinya Khadijah, maka Nabi Muhammad minta diselimuti karena menggigil
kedinginan. Maka diselimutilah tubuh Nabi Muhammad yang menggigil kedinginan
dan pucat mukanya itu oleh Khadijah. Dan tidak lama kemudian tertidurlah Nabi
Muhammad dengan nyenyak.
Khadijah yang diliputi perasaan cernas melihat suaminya (Nabi Muhammad)
sehabis dari gua Hira’ itu, pergi ke rumah
seorang pendeta Nasrani yang pandai dengan kitab Suci Taurat dan Injil yang
bernama Waraqah bin Nufail untuk minta saran dan pendapatnya tentang keadaan
suaminya (Nabi Muhammad). Waraqah bin Nufail itu masih ada hubungan famili
dengan Khadijah, yaitu anak laki-laki dari pamannya Khadijah.
Setelah mendengarkan cerita Khadijah mengenai keadaan diri Nabi Muhammad
suaminya itu, secara spontan Waraqah bin Nufail berkata:
“Quddus! Quddus! (Suci-suci), Demi Tuhan yang diri Waraqah berada
dalam kekuasaan-Nya, jika engkau mempercayai aku, hai Khadijah, sesungguhnya
telah datang kepada suami engkau itu Namus Akbar (rahasia yang paling besar),
yang pernah juga datang kepada Nabi Musa dahulu kala. Sesungguhnya ia
(Muhammad) adalah seorang nabi buat umat ini. Katakanlah kepadanya supaya
hatinya tenang.”
Sesampai di rumah, Khadijah menceritakan ucapan dan kata-kata
Waraqah bin Nufail itu kepada suaminya (Nabi Muhammad). Dan untuk menguatkan
kata-kata Khadijah itu, maka diajaklah Nabi Muhammad menemui Waraqah bin Nufail
untuk mendapat keterangan langsung darinya.
Maka Nabi Muhammad menceritakan peristiwa yang terjadi pada
dirinya kepada Waraqah dengan selengkap-lengkapnya; maka dengan spontan pula
Waraqah bin Nufail berkata:
“Suci! Suci hai putra saudaraku (Muhammad), ini adalah rahasia
yang paling besar, yang telah pernah diturunkan kepada Nabi Musa. Kalau
sekiranya aku masih segar, kuat dan masih hidup, ketika kelak kaummu mengusir
engkau (aku akan pasti membelamu) .“
Mendengar ucapan Waraqah bin Nufail, maka Nabi Muhammad bertanya: “Apakah kaumku kelak akan mengusirku?” Waraqah bin
Nufail menjawab: “Memang, sama sekali tidak ada seseorang yang
datang dengan membawa seperti yang engkau bawa itu, melainkan ia akan dimusuhi.
Dan jika aku masih sempat mengalami hari itu, maka aku akan memberikan
pertolongan yang sekuat-kuatnya kepada engkau.”